Selasa, 15 Juli 2014

PERIKLANAN & ETIKA

www.initugasku.wordpress.com “Periklanan dan Etika” Maret 3, 2010initugaskuTinggalkan komentarGo to comments BAB I PENDAHULUAN Periklanan atau reklame adalah bagian tak terpisahkan dari bisnis modern. Iklan dianggap sebagai cara ampuh untuk menonjol dalam persaingan. Dalam perkembangan periklanan, media komunikasi modern : media cetak maupun elektronis, khususnya televisi memegang peranan dominan. Fenomena periklanan ini menimbulkan perbagai masalah yang berbeda. Periklanan dilatar belakangi suatu ideologi tersembunyi yang tidak sehat, yaitu ideologi konsumerisme atau apapun nama yang ingin kita pilih untuk itu. Ada dua persoalan etis yang terkait dalam hal periklanan. Yang pertama menyangkut kebenaran dalam iklan. Mengatakan yang benar merupakan salah satu kewajiban etis yang penting. Persoalan etis yang kedua adalah memanipulasi public yang menurut banyak pengamat berulang kali dilakukan melalui upaya periklanan. BAB II PEMBAHASAN Ada 6 pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan dalam konteks kita. Fungsi Periklanan Dalam buku-buku tentang manajemen periklanan, iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsure persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah. Tercampurnya unsure informative dan unsure persuasive dalam periklanan, membuat penilaian etis terhadapnya menjadi l ebih kompleks. Periklanan dan kebenaran Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan mempunyai unsure promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Ia menandaskan bahwa produknya adalah yang terbaik atau nomor satu di bidangnya. Bahasa periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Di sini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen tahu bahwa retorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah. Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas yang berbunyi “semua mobil yang kami jual sebelumnya diperiksa oleh montir ahli” tetap berbohong, bila hal itu memang benar, tapi montir tidak berbuat apa-apa bila menemukan ketidakberesan serius pada suatu mobil. Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bias dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan public untuk menerimanya atau tidak. Manipulasi dengan periklanan Masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Dikhawatirkan bahwa periklanan-seperti propaganda lain-bisa memanipulasi public. Tetapi sekarang pada umumnya orang tidak begitu takut lagi akan bahaya dimanipulasikan melalui propaganda dan periklanan. Namun demikian, tetap benar juga bahwa periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen. Contohnya : iklan kosmetika selalu berusaha menciptakan suatu suasana romantic yang khas, sehingga menggiurkan untuk public konsumen. Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis. Tetapi, iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan : Subliminal advertising Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio. Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa. Iklan yang ditujukan kepada anak Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis. Pengontrolan terhadap iklan Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini : Kontrol oleh pemerinah Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan. Kontrol oleh para pengiklan Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia. Kontrol oleh masyarakat Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan. Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan. Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Penilaian etis terhadap iklan Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsip-prinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan. Maksud si pengiklan Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis. Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain. Isi iklan Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti seperti laporan dari instansi netral. Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum. Keadaan publik yang tertuju Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu. Kebiasaan di bidang periklanan Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar. Seperti bisa terjadi juga, bahwa di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya. Beberapa kasus etika periklanan Tiket gratis dari Bouraq Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992, maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di sebuah harian yang berbunyi : “tukarkan 10 lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di perwakilan Bouraq setempat”. Tidak diberi penjelasan lain. Lalu seorang pengusaha di Banjarmasin kebetulan menyimpan 50 tiket bekas dan berencana menukarkannya dengan harapan memperoleh 5 tiket gratis. Ia mendapat keterangan dari petugas bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat dalam iklan dan juga tidak disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu, boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan itu lengkap. Iklan plaza senayan Sangat disayangkan pada nyanyian dan tokoh pelaku iklan plaza senayan. Begitu konsumtif degan menggunakan helikopter belanja dan terkesan hura-hura ditambah konteks nyanyian: “Hidup hanya …..jangan sia-siakan” apakah betul yang hanya sekali itu harus diisi dengan hura-hura belanja penuh kemegahan Apakah tidak terbesit sedikitpun utuk menggunakan hidup yang sekali itu dengan menjalankan ibadah, beramal dan membantu saudara kita yang masih banyak berekonomi lemah? Yang jangankan belanja dengan mewah di tempat megah, membeli makanan di warungpun mikir. Iklan kijang Mendengar iklan mobil Toyota Kijang di radio maupun di televisi, yang melibatkan seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara ditdak langsung telah mendidik anak dan keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif. Sangat memrihatinkan, begitu banyak anak di negeri ini yang jangankan liburan ke Bali dan naik “Kijang”, untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja siang malam sekadar untuk makan 1 hari. Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta sosial teman-teman seusianya yang tersuruk di tengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan ke Bali hanya karena sudah terlanjur bercerita kepada teman-temannya. Eksploitasi anak-anak untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah dan konsumtif. BAB III KESIMPULAN Dalam periklanan kita tidak dapat lepas dari etika. Dimana di dalam iklan itu sendiri mencakup pokok-pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan . Iklan mempunyai unsure promosi, merayu konsumen, iklan ingin mengiming-iming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Masalah manipulasi yang utama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Maka di dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut DAFTAR PUSTAKA K. Bertens. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius : Yogyakarta.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda